Calauan Laguna Philippines, dulu tak dikenal, namanya tak
terdengar dan jika terdengar sekalipun, itu hanya berkaitan dengan kejahatan
karena bukit dekat Calauan terkenal dengan tempat persembunyian dan markas dari
para pemberontak bahkan hingga saat ini. Di bawa kaki gunung, terhampar tanah
luas yang tak tersentuh. Tak jauh dari tempat ini terdapat banyak keindahan
alam: air terjun, flora dan fauna, dan banyak lagi. Namun kini hamparan tanah
luas tersebut berjejer rumah-rumah sederhana yang dibangun oleh pemerintah.
Kontras dengan itu, sungai Pasig, di tengah kota Manila.
Bau, kotor, tercemar dan tak layak untuk digunakan untuk kehidupan sehari-hari.
Walaupun bau, kotor dan tecemar, banyak rumah-rumah kumuh dan tak layak duhuni
berjejeran di sepanjang sungai. Kontras! Ya memang kontras! Tapi para
penghuninya bahagia karena mereka tinggal bersama sebagai keluarga utuh. Dari
pagi sampai malam mereka bekerja, sekolah, bermain, dan menikmati kebersamaan
dengan orang lain. Di tempat yang kumuh ini ada relasi, ada harapan, ada cinta,
ada sharing of life, ada persahabatan dan keindahan hidup.
Namun karena ingin memperindah kota, memberi ruang bagi
kegiatan public dan menganggap bahwa kehadiran rumah kumuh di sepanjang sungai
mencemarkan sungai, rumah-rumah tersebut dihancurkan, dibongkar oleh mereka
yang mengklaim diri mereka penguasa! Mereka berdalih bahwa kaum marginal telah
mengotori sungai tapi justeru kaum kapital yang mencemarkannya dengan limbah
pabrik. Mereka mengklain bahwa kaum terpinggir telah merusak tata kota, tapi
justeru kaum kapitalis bersama para pemerintah menyediakan ruang bagi mall dan
komersial. Sadis!
Dengan menghancurkan rumah-rumah mereka, para penghuni
dibuang ke Calauan dengan janji-janji manis: di sana ada listrik, air,
pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Janji manis tanpa realisasi. Lihatlah
kehidupan mereka: tanpa listrik, tanpa air, tanpa pekerjaan dan kehidupan yang
menyedihkan. Untuk bertahan dengan kehidupan ini, kepala keluarga meninggalkan
istri dan pergi ke Manila tinggal di sana dan bekerja. Seminggu atau sebulan
baru balik. Istri dan anak-anak tinggal di sana dan hanya mengharapkan uang
dari sang suami. Apa yang terjadi jika tidak ada uang? Mereka melewati hari
tanpa makan, anak-anak tidak ke sekolah, tanpa harapan. Hal lain yang lebih
riskan adalah suami bisa saja mempunyai simpanan baru di Manila. Menyedihkan!
Dalam live in kami di sana, kami pergi ke beberapa rumah
untuk setidaknya mendengarkan keluh kesah mereka, dan sangat mengejutkan ketika
seorang ibu mengatakan “Kami dibuang ke sini seperti binatang”. SADIS! Manusia
tidak punya martabat lagi, martabat dan harga dirinya disamakan seperti
binatang! Ada yang mengatakan, kami ke sini karena dipaksa dan rumah kami
dibongkar. Dengan memindahkan mereka ke tempat ini, dengan keegoisan, kaum
penguasa telah memisahkan keharmonisan keluarga, memisahkan keindahan cinta dan
bahkan iman sekalipun. Banyak dari mereka yang kehilangan harapan dan hanya
pasrah pada kenyataan hidup.
Menurut statistic, setiap minggu
rata-rata lima orang meninggal karena tidak ada perawatan dan kelaparan.
Sungguh kejam dunia ini! Kejam bukan karena hakekatnya tapi karena keserakahan
manusia yang tidak mau menghargai satu sama lain. Kehadiran orang lain menjadi
ancaman dan kebahagiaan orang lain menjadi pengusik kebahagiaan para penguasa.
Berdasarkan situasi ini, tidak heran jika kejahatan meraja lela. Benar ungkapan
filsafat “homo homini lupus –manusia
menjadi srigala bagi yang lain. Mengapa? Simple: just for survival. Dan benar
kata Darwin “survival of the fittest” – untuk bertahan dan mempertahankan
status quo yang kuat akan bertahan dan yang lemah akan kalah, terpinggirkan dan
lenyap! Sadis! Ya memang sadis! Tapi itulah dunia kita saat ini!
Melihat situasi ini, Salesian
berusaha untuk masuk dalam kehidupan ini dan menjadi pioneer di tempat ini. Dengan
semangat Don Bosco yakni menjadi tanda dan pembahwa kasih Allah kepada kaum
muda khususnya yang miskin menjadi seperti oase di tengah padang gurun.
Kehadirannya awalnya mengalami banyak tantangan, namun kita menjadi rahmat dan
berkat bagi mereka. Menakjubkan melihat setiap hari orang muda datang ke ‘youth
center’ dan umat yang telah kehilangan harapan kini mulai menemukan lagi
harapan itu. Seorang salesian bahkan mengatakan bahwa “mereka boleh kehilangan
apapun dalam hidup mereka, tetapi saya akan berdiri membela mereka jika seorang
ingin melenyapkan harapan mereka” Harapan kini menjadi satu-satunya yang
tersisa. Harapan akan kehidupan yang lebih baik, harapan akan kebahagiaan rumah
tangga, harapan akan pekerjaan, akan pendidikan dan kehidupan beriman yang
lebih baik.
Ya Salesian itu benar, dia ingin
membela agar mereka tidak kehilangan harapan karena mereka sedang menumbuhkan
kembali harapan yang telah sirna dengan membangun Balai Latihan Kerja dan
menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka yang tamat, memberikan bea siswa,
menyediakan makanan bergizi untuk anak-anak dan masih banyak program lagi.
Bener bahwa kita boleh kehilangan segala sesuatu dalam hidup, tapi jangan pernah
kehilangan harapan karena harapan menjadi satu-satunya kekuatan bagi kita untuk
maju dan menjadi optimis tentang masa depan, tentang suatu kehidupan baru.
Dalam bahwa theology harapan terciptanya langit dan bumi yang baru.
Saya sering mengalami depresi dan
stress dengan kehidpan tapi dengan live in yang kami buat, kaum miskin yang
kami temui telah mengajarkan kepadaku arti sesungguhnya “BERSYUKUR”. Mereka
mengajarkan kepada saya bahwa kadang dalam hidup, nyaris segala sesuatu
dilenyapkan dari kita karena keserakahan, keegoisan dan ambisi namun jangan
sekali-kali kehilangan dan membiarkan harapan dirampas dari hidup kita. Anda
sedang mengalami hal yang sama? Atau sedang mengalami? Atau akan mengalaminya?
Orang-orang miskin di Calauan akan berkata kepadamu: Keep the HOPE burning.
Biarkan harapan terus bernyala dalam hidup.