Thursday, April 26, 2012

JALANAN ADALAH SEKOLAH

Sekolah adalah tempat kita menuntut ilmu. Di sekolah, guru mengajarkan materi, murid mendengarkan, membuat ringkasan dan membuat Pekerjaan Rumah. Di sekolah guru mengajar berarti dia aktif, siswa mendengarkan (pasif). Kadang terlalu menekankan aspek pengetahuan dan melupakan aspek etikanya. Inilah realitas dunia kita dan saya dididik dalam dunia seperti ini bahkan sampai saat ini aku bergumul dengan dogma, moral, kitab suci, etika dan lainnya.
Namun tadi malam ketika kami melakukan live-in di tempat anak-anak jalanan, duniaku tentang pendidikan mendapat pencerahan dari aspek lain. Langit adalah atap sekolah, jalanan adalah ruang kelas, jembatan layang adalah koridor dan kehidupan adalah guru termahal yang pernah mereka miliki. Ya benar, di bawa atap langit dan jalanan yang bising inilah mereka belajar arti kehidupan; kehidupan yang tidak egois, tanpa ras dan suku. Kehidupan yang berbagi dengan yang lain, kehidupan yang mengajarkan kepada saya arti peduli dan saling membantu. Yah, anak jalanan telah mengajarkan kepada saya bahwa sungguh indah hidup bersama dalam kepeduliaan dan tanpa mengedepankan suku, rasa dan agama.
Jalanan adalah sekolah di mana kita belajar ketidakadilan. Yang kaya akan semakin kaya dengan keangkuhannya memeras uang rakyat dan yang tak berdaya. Di sana saya belajar bahwa benalu adalah racun bagi terciptanya keadilan sosial. Benalu yang terus menghimpit kaum lemah dan membisukan mulut mereka dengan keangkuhan dibalut janji manis. Jalanan adalah sekolah dimana keberuntungan hanya berpihak pada orang-orang tertentu. Saya menyaksikan keluarga dengan delapan orang anak. Semuanya lahir dari keluarga ‘sekolah jalan’ dan akan menghasilkan lagi ‘murid-murid’ untuk jalanan. Dari ketidakberuntungan akan menciptakan rantai yang sama: rantai ketidakberuntungan dan entah sampai kapan rantai ini akan terputus.
Sekolah jalanan dimana saya belajar arti ‘tidak tau diri’. Ketika temanku sedang memungut sampah bersama beberapa anak, orang-orang dengan pakaian yang bagus, kelihatan gagah dan menarik melewati tempat sampah. Mereka menutup hidung, enggan mencium bau sampah yang sebenarnya datang dari mereka. Merekalah yang memproduksi sampah-sampah itu dan memberikan bau kepada kaum marginal tanpa mau ‘mencicipi’ keharuman hasil produksi mereka.
Di jalanan saya belajar bahwa Tuhan itu adil dalam menyediakan segala sesuatu buat kita, tetapi kerakusan dan keangkuhan kaum kapitalis merugikan kaum marginal. Busa air buangan dari pabrik menjadi ‘air sumber kehidupan’ bagi mereka. Di sana mereka mencuci, mandi dan melakukan aktivitas lainnya dengan penuh kepasrahan. Hanya menerima nasib!Di jalan saya belajar arti berbagi. Mereka saling berbagi makanan, minuman (juice), bahkan satu potong biscuit dibagi bersama-sama tanpa merasa ragu. Mereka tidak hanya berbagi tentang makanan tetapi mereka berbagi kehidupan. Kehidupan yang saling peduli, jauh dari egoisme dan ketakutan. Mereka datang dari berbagai tempat, latar belakang, agama, dll tapi mereka bisa hidup bersama dan jalanan telah menghancurkan sekat yang dibentuk oleh sukuisme. Jalanan mengajarkan saya arti berbagi tanpa batas.Ketika kami dalam perjalanan dari rumah ke jalan, aku berdoa Rosario karena aku agak ketakutan. Membayangkan kehidupan mereka yang keras, membayangkan wajah-wajah sangar dan menakutkan menyiutkan nyaliku. Namun ketika berada di tengah-tengah mereka, semua ‘negative thinking’ku hilang seketika. Aku menemukan kenyamanan berada bersama mereka, betah berbaur dalam kerumunan mereka dan merasa ‘at home’ dengan senyum dan keramahan mereka. Melihat senyum-senyum mereka, terngiang dalam pikiranku “mereka hidupnya menderita, susah, tidur di bawa kolong jembatan, tapi mereka masih bisa tersenyum?” bener, kebahagiaan tidak diperoleh dengan banyaknya harta atau kelimpahan tapi dalam kebersamaan dan ketulusan hati. Kedamaian hati adalah bagian yang tak terpisahkan dari eksistensi manusia.Aku sempat berbicara dengan beberapa anak, tentang kehidupan di jalan, tentang keluarga mereka, tentang masalah mereka. Mereka adalah orang-orang yang tidak beruntung dalam masyarakat. Berasal dari keluarga miskin, korban ‘broken family’, diabaikan oleh orang tua mereka, menjadi korban ketika mereka masih sekolah. Melihat situasi seperti ini, sebagai seorang Salesian, saya merasa tertantang, dimotivasi dan di’bangkitkan dari tidur pulasku’ akan misi yang telah diwariskan oleh Don Bosco kepada gereja dan kongregasi: Menjadi tanda dan pembawa kasih Allah kepada kaum muda, terutama yang miskin, menjadikan mereka warga Negara yang jujur dan orang Kristen yang baik. Mereka kekurangan cinta karena menjadi korban, tetapi dalam ‘kekerdilan’ cinta itu mereka masih bisa berbagi makna cinta lewat kehidupan di jalan. Bagiamana dengan saya? Suatu tantangan. Don Bosco mengingatkan saya sekali lagi: Da Mihi Animas Cetera Tolle.  

cc: foto saya download dari Google.

No comments: