Sekolah adalah tempat kita menuntut ilmu. Di sekolah, guru
mengajarkan materi, murid mendengarkan, membuat ringkasan dan membuat Pekerjaan
Rumah. Di sekolah guru mengajar berarti dia aktif, siswa mendengarkan (pasif).
Kadang terlalu menekankan aspek pengetahuan dan melupakan aspek etikanya.
Inilah realitas dunia kita dan saya dididik dalam dunia seperti ini bahkan
sampai saat ini aku bergumul dengan dogma, moral, kitab suci, etika dan
lainnya.
Namun tadi malam ketika kami melakukan live-in di tempat
anak-anak jalanan, duniaku tentang pendidikan mendapat pencerahan dari aspek
lain. Langit adalah atap sekolah, jalanan adalah ruang kelas, jembatan layang
adalah koridor dan kehidupan adalah guru termahal yang pernah mereka miliki. Ya
benar, di bawa atap langit dan jalanan yang bising inilah mereka belajar arti
kehidupan; kehidupan yang tidak egois, tanpa ras dan suku. Kehidupan yang
berbagi dengan yang lain, kehidupan yang mengajarkan kepada saya arti peduli
dan saling membantu. Yah, anak jalanan telah mengajarkan kepada saya bahwa
sungguh indah hidup bersama dalam kepeduliaan dan tanpa mengedepankan suku,
rasa dan agama.
Jalanan adalah sekolah di mana kita belajar ketidakadilan.
Yang kaya akan semakin kaya dengan keangkuhannya memeras uang rakyat dan yang
tak berdaya. Di sana saya belajar bahwa benalu adalah racun bagi terciptanya
keadilan sosial. Benalu yang terus menghimpit kaum lemah dan membisukan mulut
mereka dengan keangkuhan dibalut janji manis. Jalanan adalah sekolah dimana
keberuntungan hanya berpihak pada orang-orang tertentu. Saya menyaksikan
keluarga dengan delapan orang anak. Semuanya lahir dari keluarga ‘sekolah
jalan’ dan akan menghasilkan lagi ‘murid-murid’ untuk jalanan. Dari
ketidakberuntungan akan menciptakan rantai yang sama: rantai ketidakberuntungan
dan entah sampai kapan rantai ini akan terputus.
Sekolah jalanan dimana saya belajar arti ‘tidak tau diri’.
Ketika temanku sedang memungut sampah bersama beberapa anak, orang-orang dengan
pakaian yang bagus, kelihatan gagah dan menarik melewati tempat sampah. Mereka
menutup hidung, enggan mencium bau sampah yang sebenarnya datang dari mereka.
Merekalah yang memproduksi sampah-sampah itu dan memberikan bau kepada kaum
marginal tanpa mau ‘mencicipi’ keharuman hasil produksi mereka.
Di jalanan saya belajar bahwa Tuhan itu adil dalam
menyediakan segala sesuatu buat kita, tetapi kerakusan dan keangkuhan kaum
kapitalis merugikan kaum marginal. Busa air buangan dari pabrik menjadi ‘air
sumber kehidupan’ bagi mereka. Di sana mereka mencuci, mandi dan melakukan
aktivitas lainnya dengan penuh kepasrahan. Hanya menerima nasib!Di jalan saya belajar arti berbagi. Mereka saling berbagi
makanan, minuman (juice), bahkan satu potong biscuit dibagi bersama-sama tanpa
merasa ragu. Mereka tidak hanya berbagi tentang makanan tetapi mereka berbagi
kehidupan. Kehidupan yang saling peduli, jauh dari egoisme dan ketakutan. Mereka
datang dari berbagai tempat, latar belakang, agama, dll tapi mereka bisa hidup
bersama dan jalanan telah menghancurkan sekat yang dibentuk oleh sukuisme. Jalanan
mengajarkan saya arti berbagi tanpa batas.Ketika kami dalam perjalanan dari rumah ke jalan, aku berdoa
Rosario karena aku agak ketakutan. Membayangkan kehidupan mereka yang keras,
membayangkan wajah-wajah sangar dan menakutkan menyiutkan nyaliku. Namun ketika
berada di tengah-tengah mereka, semua ‘negative thinking’ku hilang seketika. Aku
menemukan kenyamanan berada bersama mereka, betah berbaur dalam kerumunan
mereka dan merasa ‘at home’ dengan senyum dan keramahan mereka. Melihat senyum-senyum
mereka, terngiang dalam pikiranku “mereka hidupnya menderita, susah, tidur di
bawa kolong jembatan, tapi mereka masih bisa tersenyum?” bener, kebahagiaan
tidak diperoleh dengan banyaknya harta atau kelimpahan tapi dalam kebersamaan
dan ketulusan hati. Kedamaian hati adalah bagian yang tak terpisahkan dari
eksistensi manusia.Aku sempat berbicara dengan beberapa anak, tentang kehidupan
di jalan, tentang keluarga mereka, tentang masalah mereka. Mereka adalah
orang-orang yang tidak beruntung dalam masyarakat. Berasal dari keluarga
miskin, korban ‘broken family’, diabaikan oleh orang tua mereka, menjadi korban
ketika mereka masih sekolah. Melihat situasi seperti ini, sebagai seorang
Salesian, saya merasa tertantang, dimotivasi dan di’bangkitkan dari tidur pulasku’
akan misi yang telah diwariskan oleh Don Bosco kepada gereja dan kongregasi:
Menjadi tanda dan pembawa kasih Allah kepada kaum muda, terutama yang miskin,
menjadikan mereka warga Negara yang jujur dan orang Kristen yang baik. Mereka kekurangan
cinta karena menjadi korban, tetapi dalam ‘kekerdilan’ cinta itu mereka masih
bisa berbagi makna cinta lewat kehidupan di jalan. Bagiamana dengan saya? Suatu
tantangan. Don Bosco mengingatkan saya sekali lagi: Da Mihi Animas Cetera
Tolle.
cc: foto saya download dari Google.
No comments:
Post a Comment