Friday, April 27, 2012

HANYA HARAPAN YANG TERSISA PADA KAMI


Calauan Laguna Philippines, dulu tak dikenal, namanya tak terdengar dan jika terdengar sekalipun, itu hanya berkaitan dengan kejahatan karena bukit dekat Calauan terkenal dengan tempat persembunyian dan markas dari para pemberontak bahkan hingga saat ini. Di bawa kaki gunung, terhampar tanah luas yang tak tersentuh. Tak jauh dari tempat ini terdapat banyak keindahan alam: air terjun, flora dan fauna, dan banyak lagi. Namun kini hamparan tanah luas tersebut berjejer rumah-rumah sederhana yang dibangun oleh pemerintah.
Kontras dengan itu, sungai Pasig, di tengah kota Manila. Bau, kotor, tercemar dan tak layak untuk digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Walaupun bau, kotor dan tecemar, banyak rumah-rumah kumuh dan tak layak duhuni berjejeran di sepanjang sungai. Kontras! Ya memang kontras! Tapi para penghuninya bahagia karena mereka tinggal bersama sebagai keluarga utuh. Dari pagi sampai malam mereka bekerja, sekolah, bermain, dan menikmati kebersamaan dengan orang lain. Di tempat yang kumuh ini ada relasi, ada harapan, ada cinta, ada sharing of life, ada persahabatan dan keindahan hidup.
Namun karena ingin memperindah kota, memberi ruang bagi kegiatan public dan menganggap bahwa kehadiran rumah kumuh di sepanjang sungai mencemarkan sungai, rumah-rumah tersebut dihancurkan, dibongkar oleh mereka yang mengklaim diri mereka penguasa! Mereka berdalih bahwa kaum marginal telah mengotori sungai tapi justeru kaum kapital yang mencemarkannya dengan limbah pabrik. Mereka mengklain bahwa kaum terpinggir telah merusak tata kota, tapi justeru kaum kapitalis bersama para pemerintah menyediakan ruang bagi mall dan komersial. Sadis!
Dengan menghancurkan rumah-rumah mereka, para penghuni dibuang ke Calauan dengan janji-janji manis: di sana ada listrik, air, pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Janji manis tanpa realisasi. Lihatlah kehidupan mereka: tanpa listrik, tanpa air, tanpa pekerjaan dan kehidupan yang menyedihkan. Untuk bertahan dengan kehidupan ini, kepala keluarga meninggalkan istri dan pergi ke Manila tinggal di sana dan bekerja. Seminggu atau sebulan baru balik. Istri dan anak-anak tinggal di sana dan hanya mengharapkan uang dari sang suami. Apa yang terjadi jika tidak ada uang? Mereka melewati hari tanpa makan, anak-anak tidak ke sekolah, tanpa harapan. Hal lain yang lebih riskan adalah suami bisa saja mempunyai simpanan baru di Manila. Menyedihkan!
Dalam live in kami di sana, kami pergi ke beberapa rumah untuk setidaknya mendengarkan keluh kesah mereka, dan sangat mengejutkan ketika seorang ibu mengatakan “Kami dibuang ke sini seperti binatang”. SADIS! Manusia tidak punya martabat lagi, martabat dan harga dirinya disamakan seperti binatang! Ada yang mengatakan, kami ke sini karena dipaksa dan rumah kami dibongkar. Dengan memindahkan mereka ke tempat ini, dengan keegoisan, kaum penguasa telah memisahkan keharmonisan keluarga, memisahkan keindahan cinta dan bahkan iman sekalipun. Banyak dari mereka yang kehilangan harapan dan hanya pasrah pada kenyataan hidup.
Menurut statistic, setiap minggu rata-rata lima orang meninggal karena tidak ada perawatan dan kelaparan. Sungguh kejam dunia ini! Kejam bukan karena hakekatnya tapi karena keserakahan manusia yang tidak mau menghargai satu sama lain. Kehadiran orang lain menjadi ancaman dan kebahagiaan orang lain menjadi pengusik kebahagiaan para penguasa. Berdasarkan situasi ini, tidak heran jika kejahatan meraja lela. Benar ungkapan filsafat “homo homini lupus –manusia menjadi srigala bagi yang lain. Mengapa? Simple: just for survival. Dan benar kata Darwin “survival of the fittest” – untuk bertahan dan mempertahankan status quo yang kuat akan bertahan dan yang lemah akan kalah, terpinggirkan dan lenyap! Sadis! Ya memang sadis! Tapi itulah dunia kita saat ini!
Melihat situasi ini, Salesian berusaha untuk masuk dalam kehidupan ini dan menjadi pioneer di tempat ini. Dengan semangat Don Bosco yakni menjadi tanda dan pembahwa kasih Allah kepada kaum muda khususnya yang miskin menjadi seperti oase di tengah padang gurun. Kehadirannya awalnya mengalami banyak tantangan, namun kita menjadi rahmat dan berkat bagi mereka. Menakjubkan melihat setiap hari orang muda datang ke ‘youth center’ dan umat yang telah kehilangan harapan kini mulai menemukan lagi harapan itu. Seorang salesian bahkan mengatakan bahwa “mereka boleh kehilangan apapun dalam hidup mereka, tetapi saya akan berdiri membela mereka jika seorang ingin melenyapkan harapan mereka” Harapan kini menjadi satu-satunya yang tersisa. Harapan akan kehidupan yang lebih baik, harapan akan kebahagiaan rumah tangga, harapan akan pekerjaan, akan pendidikan dan kehidupan beriman yang lebih baik.
Ya Salesian itu benar, dia ingin membela agar mereka tidak kehilangan harapan karena mereka sedang menumbuhkan kembali harapan yang telah sirna dengan membangun Balai Latihan Kerja dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka yang tamat, memberikan bea siswa, menyediakan makanan bergizi untuk anak-anak dan masih banyak program lagi. Bener bahwa kita boleh kehilangan segala sesuatu dalam hidup, tapi jangan pernah kehilangan harapan karena harapan menjadi satu-satunya kekuatan bagi kita untuk maju dan menjadi optimis tentang masa depan, tentang suatu kehidupan baru. Dalam bahwa theology harapan terciptanya langit dan bumi yang baru.
Saya sering mengalami depresi dan stress dengan kehidpan tapi dengan live in yang kami buat, kaum miskin yang kami temui telah mengajarkan kepadaku arti sesungguhnya “BERSYUKUR”. Mereka mengajarkan kepada saya bahwa kadang dalam hidup, nyaris segala sesuatu dilenyapkan dari kita karena keserakahan, keegoisan dan ambisi namun jangan sekali-kali kehilangan dan membiarkan harapan dirampas dari hidup kita. Anda sedang mengalami hal yang sama? Atau sedang mengalami? Atau akan mengalaminya? Orang-orang miskin di Calauan akan berkata kepadamu: Keep the HOPE burning. Biarkan harapan terus bernyala dalam hidup.

No comments: